Assalamualaikum.
Baru-baru ini Uni Eropa telah meresmikan kebijakan baru seputar perangkat yang memancarkan gelombang radio, yang didalamnya termasuk smartphone. Kebijakan baru ini disebut sebagai RED Regulation (Radio Equipment Directive) dan poin yang paling mencolok dalam kebijakan itu adalah mengenai larangan untuk membuka kunci bootloader secara permanen.
Ya, kebijakan baru Uni Eropa ini melarang UBL pada smartphone yang dipasarkan disana. Meski tidak menyebut istilah bootloader secara eksplisit, namun poin poin yang diangkat, semuanya mengarah ke sana. Bahkan kabarnya, Samsung secara diam-diam langsung menghapus kemampuan UBL dari ponselnya yang dimulai dengan pembaruan pada OneUI8. Bukan hanya pilihan UBL yang hilang, tapi, seluruh kode yang menangani UBL benar-benar dihapus.
Alasannya adalah demi melindungi privasi dan keamanan pengguna serta mendorong perangkat agar mudah diperbaiki sesuai dengan gerakan Right to Repair dengan cara mewajibkan vendor memproduksi dan menyediakan sparepart seperti baterai, layar dan sebagainya selama tujuh tahun terhitung sejak perangkat dipasarkan. Tujunnya adalah agar ponsel mudah diperbaiki guna menekan bertambahnya sampah elekronik hanya karena spareprt sulit didapat.
Sekilas, kebijakan ini memang terlihat sangat mementingkan pengguna akhir seperti saya karena dengan terkuncinya botloader, sotware-software jahat akan kesulitan melakukan manipulasi sistem ponsel dan juga menjamin pengguna menjadi mudah untuk mendapatkan sparepart ketika terjadi keruskan pada ponsel.
Namun ketika hal ini dikaji lebih dalam, ternyata masalah dilapangan jauh lebih kompleks. Apa saja itu? Ayo kita bahas lebih jauh.
Tapi sebelum memulai topik lebih dalam, ayo kita ketahui apa itu bootloader, unlock bootloader, dan, kenapa itu penting.
Apa Itu Bootloader?
Bootloader adalah sebuah program kecil yang menangani proses mulainya sistem operasi dalam suatu perangkat. Tugasnya untuk memastikan jika sistem operasi telah sesuai dengan nilai tertentu, misalnya dengan verifikasi khusus dari vendor. Jika verifikasi gagal, maka bootloader akan menolak sistem operasi dan menampikan error di layar atau bootloop. Hal ini akan terjadi jika ponsel tidak di UBL, alias, bootloader masih terkunci.
Selain menolak menjalankan sistem operasi yang gagal verifikasi, bootloader juga bertugas untuk menolak instalasi sistem operasi tidak resmi, atau yang lebih familiar disebut dengan flashing custom ROM. Jika bootloader masih terkunci, proses flash custom ROM akan ditolak.
Namun, jika bootloader sudah di buka, maka proses verifikasi akan dilewati begitu saja dan sistem operasi alternatif atau custom ROM bisa dipasang dan dijalankan tanpa masalah.
Kenapa UBL Penting?
UBL atau unlock bootloader sangat penting terutama bagi komunitas pengembang sistem operasi alternatif karena dengan UBL, ponsel dapat dimodifikasi di sisi software dengan lebih leluasa dan dapat ditingkatkan. Hasilnya, ponsel akan berusia lebih panjang dan otomatis menurunkan jumlah sapah elektronik terutama ponsel.
Contohnya, saya ambil dari dua ponsel buatan Xiaomi, yaitu Xiaomi Redmi 2 dan Xiaomi Redmi 4X.
Xiaomi Redmi 2 yang di pasarkan sepuluh tahun lalu, tepatnya pada Januari 2015, ternyata mampu menjalankan Android 10 melalui proyek custom ROM yang dikembangkan oleh komunitas LineageOS. Bahkan, melalui proyek yang dikembangkan oleh komunitas Postmarket OS, Xiaomi Redmi 2 bisa diubah menjadi komputer genggam dengan mainlining kernel sehingga dapat digunakan lagi untuk coding ringan ketika bepergian, menulis tanpa gangguan notifikasi, untuk remote SSH sampai digunakan sebagai server pribadi di rumah.
Padahal jika Xiaomi Redmi 2 tetap menggunakan sistem operasi dari vendor, maka saat ini ia sudah hampir tidak bisa digunakan untuk apapun karena pembaruan dari vendor hanya sebatas sampai Android 4 saja.
Lalu untuk Xiaomi Redmi 4X yang dipasarkan delapan tahun lalu, tepatnya di tahun 2017, malah semakin menggila karena ternyata, Xiaomi Redmi 4X ini telah tersedia sistem operasi alternatif paling baru. Yaitu Lineage OS 23 yang berbasiskan pada Android 16 ketika artikel ini ditulis.
Artinya, ponsel yang hanya didukung hingga Android 7 oleh vendor, ternyata dapat terus menjalankan sistem operasi terbaru, aplikasi terbaru, API level terbaru, protokol terbaru dan enkripsi terbaru ketika ponsel dirawat oleh komunitas.
Itulah kenapa UBL sangat penting, terutama untuk ponsel-ponsel yang sudah tidak baru lagi.
Resiko Membuka Bootloader
Namun, dibalik kelebihan UBL, pastinya ada juga kekurangan jika ponsel telah di UBL.
Masalah yang mungkin timbul karena ponsel di UBL adalah, aplikasi jahat yang tidak sengaja diinstall dapat menyuntikkan kode jahat lainnya ke dalam konfigurasi kernel di partisi boot terutama pada ponsel yang telah di root. Tujuannya, untuk menjalankan aplikasi secara otomatis dengan izin sistem ketika ponsel dinyalakan sehingga aplikasi dapat mngintip semua data pribadi dan data aplikasi lainnya, misalnya data mbanking, dan yang tidak kalah bahaya adalah, kemungkinan dibacanya setiap karakter yang kita ketik, membaca setiap password yang kita ketik, dan setiap aplikasi yang kita buka dapat di screenshot secara sembunyi-sembunyi tanpa ketahuan.
Tapi efek samping yang paling mengerikan adalah, adanya kemungkinan penjualan produk baru dari vendor akan merosot karena ternyata produk lama yang pernah dijual, masih berfungsi dengan baik, dalam kondisi prima dan sistem operasi terbaru. Dan yang paling penting, sistem operasi alternatif atau custom ROM, biasanya tidak menyertakan bloatware sehingga ponsel dapat bekerja lebih efisien dan gesit.
Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan sistem operasi vendor yang penuh dengan bloatware dan sulit dihapus bahkan mustahil.
INFO: Bloatware adalah aplikasi bawaan yang manfaatnya masih dipertanyakan karena sebagian besar tidak diperlukan oleh pengguna bahkan hanya menghabiskan penyimpanan dan sumberdaya ponsel.
Kesimpulan
Dari semuanya, kesimpulan yang saya ambil adalah, edukasi ke pengguna akhir adalah hal yang lebih tepat daripada mengunci ponsel itu sendiri. Karena selain melarang pengguna memilih software yang tepat secara mandiri – yang dalam arti perdagangan, pembeli berarti pemilik sah setelah akad jual beli –, mengunci bootloader secara permanen juga berisiko memperpendek usia ponsel itu sendiri karena komunitas tidak bisa membangun dan mengembangkan sistem operasi alternatif.
Sedangkan mengenai poin Right to Repair, sebenarnya, meski vendor tidak diminta menyediakan sparepart selama 7 tahun setelah peluncuran produk, pabrikan pihak ketiga juga sudah pasti akan menyediakan segala macam sparepart dan aksesoris untuk perbaikan, sehingga, point ini sebenarnya kurang tepat karena nilai usang sebenarnya lebih condong dari sisi software daripada hardware.
Dan, jika kebijakan ini meluas, maka pengguna harus menambah nominal investasinya ke pembelian ponsel baru setiap beberapa tahun karena setelah vendor menghentikan pembaruan, yang biasanya hanya dua sampai tiga kali pembaruan saja meski klaimnya menyediakan dukungan selama 5 tahun, ponsel akan segera tidak aman dari sisi software, bukan hardware. Dan jika investasinya untuk seluruh keluarga, maka nominal anggaran akan membengkak dan sampah elektronik akan meningkat tajam.
Lagipula, meskipun bootloader tetap terkunci, aplikasi jahat yang terinstall secara tidak sengaja, tetap dapat meminta izin akses tertentu secara manual kepada pengguna dengan menampikan pesan palsu, dan jika dilihat dari kebiasaan pengguna yang asal tekan Agree, OKE dan ACCEPT, maka resikonya tetap ada meski sedikit lebih sempit.
Dengan kata lain, bootloader hanya mengamankan proses boot saja sedangkan bagaimana prilaku aplikasi setelah ponsel menyala, sudah bukan lagi urusan bootloader.
Jadi, edukasi kepada pengguna adalah solusi yang paling tepat karena pengguna tetap menjadi penentu akhir bagaimana ponsel digunakan, dan bagaimana aplikasi direspon.
Kalau kalian bagaimana?
Wassalamualaikum .
Artikel ini ditulis sepenuhnya dengan HaPlay GO Zero 3
Sumber: Xiaomi-MIUI.gr
Sumber: Blazertrends.com
